Tidak ada yang lebih aku sesali dari pada penyesalanku terhadap hari dimana ketika matahari tenggelam, sementara umurku berkurang tetapi amalku tidak bertambah (Abdullah bin Mas'ud).
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 November 2010

Ummu Sulaim

Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.


Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)

Demikianlah....
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.

Maraji:

  1. Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z” (Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq),
  2. Wanita-wanita Teladan Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)
www.muslimah.or.id

Su’airah; Wanita Penghuni Surga

Su’airah al-Asadiyyah atau yang dikenal dengan Ummu Zufar radhiyallohu’anha. Walau para ahli sejarah tak menulis perjalanan kehidupannya secara rinci, karena hampir semua kitab-kitab sejarah hanya mencantumkan sebuah hadits dalam biografinya, namun dengan keterangan yang sedikit itu kita dapat memetik banyak faedah, pelajaran, serta teladan yang agung dari wanita shalihah ini.

Su’airah al-Asadiyyah berasal dari Habsyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh ketulusan. Ia adalah perumpamaan cahaya dan bukti nyata dalam kesabaran, keyakinan dan keridhaan terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah, Rabb Pencipta Alam semesta ini. Dia adalah wanita yang datang dan berbicara langsung dengan pemimpin orang-orang yang ditimpa musibah dan imam bagi orang-orang yang sabar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Dialog mereka berdua telah dimaktub dan dinukilkan di dalam kitab sunnah yang mulia. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.”

Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata:

“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka tanpa disadari auratku terbuka. Do’akanlah supaya aku sembuh.” Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”

Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku) terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Maka Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun mendo’akannya. (HR Al-Bukhari 5652)

Perhatikanlah … betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar :10)

Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia terkandung hikmah yang agung, yang dengannya Allah ingin membersihkan hambanya dari dosa. Dengan keyakinan itulah Su’airah lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, kerana apa yang ada disisi Allah lebih baik dan kekal. Dan Ketika diberikan pilihan kepadanya antara surga dan kesembuhan, maka ia lebih memilih surga yang abadi. Akan tetapi di samping itu, ia meminta kepada Rasululloh shallallahu ’alaihi wasallam untuk mendoakan agar auratnya tidak terbuka bila penyakitnya kambuh, karena ia adalah waniya yang telah terdidik dalam madrasah ‘iffah (penjagaan diri) dan kesucian, hasil didikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, dan menjaga hak Allah yang telah memerintahkan wanita muslimah untuk menjaga kehormatan dirinya dengan menutup aurat. Allah subhanahu wa ta’alla berfirman:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (Qs An-Nur: 31)

Su’airah telah memberikan pelajaran penting bagi para wanita yang membuka auratnya, bahwa hendaknya mereka bersyukur kepada Allah ta’alla atas nikmat kesehatan yang telah dilimpahkan kepada mereka. Berpegang dengan hijab yang syar’i adalah jalan satu-satunya untuk menuju kemuliaan dan kemenangan hakiki, karena ia adalah mahkota kehormatannya. Dalam permintaannya, Su’airah hanya meminta agar penyakit yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu tidak menjadi sebab terbukanya auratnya, padahal dalam keadaan itu pena telah diangkat darinya! Akan tetapi, ia tetap berpegang dengan hijab dan rasa malunya!

Betapa jauhnya perbandingan antara wanita yang pemalu dan penyabar ini dengan mereka yang telanjang yang tampil dilayar-layar kaca dan terpampang di koran dan majalah-majalah. Tak perlu kita mengambil contoh terlalu jauh sampai ke negara-negara barat sana. Cukuplah kita perhatikan di negara kita tercinta ini saja, banyak kita temukan wanita-wanita telanjang berlalu lalang dengan santainya di setiap lorong dan sudut kota, bahkan di kampung-kampung tanpa rasa malu sedikitpun. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah sebutkan perihal mereka ini dengan sabdanya:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“ Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihat mereka: satu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor sapi dimana mereka memecut manusia dengannya, dan kaum wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang, genit dan menggoda, (rambut) kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Sungguh mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapati baunya, padahal bau surga bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian (jauhnya).” (HR Muslim 5704)

Mereka tak ubahnya seperti binatang yang kemana-mana tak berpakaian karena mereka memang tidak berakal! Keluarnya mereka telah merusak pandangan orang-orang yang berakal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda tentang mereka:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان

“Seorang wanita itu (seluruhnya) aurat. Apabila ia keluar (rumah) maka setan akan membuat mereka nampak indah di hadapan orang-orang yang memandanginya.” (HR Tirmidzi 1206, dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no 6690)

Dan sungguh semua itu bertolak belakang dengan fitrah manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)

“ Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs Al A’raf :179)

Demikianlah sosok Su’airah al-Asadiyyah radhiyallahu’anha, wanita yang dipuji Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam akan kesabaran dan ‘iffah (penjagaan diri)nya. Semoga pelajaran agung yang telah diwariskannya dapat menjadi acuan bagi wanita muslimah menuju keridhaan Allah subhanahu wa ta’alla, dan menjadikan kita penghuni surga sebagaimana Su’airah, Aamiin.

Dikutip dari majalah Mawaddah Edisi 7 tahun ke-3

www.muslimah.or.id

Sabtu, 13 Februari 2010

Jabir bin Abdillah (Wafat 74 H)

Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahku. Setelah Ayahku terbunuh, aku selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

Jabir bin Abdullah pernah melawat ke Mesir dan Syam dan banyak orang menimba ilmu darinya dimanapun mereka bertemu dengannya. Di Masjid Nabi Madinah ia mempunyai kelompok belajar , disini orang orang berkumpul untuk mengambil manfaat dari ilmu dan ketakwaan.

Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu itu ikut mensholatkannya.

Sanad terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber :
- Biografi jabir dalam Al-Ishabah 1/213 dan Tahdzib al-Asma 1/142.

diakses dari forum-unand.blogspot.com

Zaid bin Tsabit (Wafat 45 H)

Nama lengkapnya adalah Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahak bin Zaid Ludzan bin Amru, dia masuk islam ketika umur 11 tahun ketika perang Badar terjadi.


Perjalanan Hidupnya

Nabi menyerahkan bendera Bani Malik bin an-Najjar kepada ‘Imarah sebagai komandan perang Tabuk, lalu Nabi mengambilnya dan diserahkan kepada Zaid bin Tsabit. Ketika beliau memintanya, maka Imarah bertanya, ”Ya Rasulullah, apakah engkau akan menyerahkan sesuatu yang engkau berikan kepadaku?. Beliau menjawab,” Tidak, tetapi al-Quran harus didahulukan, dan Zaid bin Tsabit lebih banyak menguasai bacaan Al-Quran daripadamu”.

Zaid juga sebagai penulis wahyu bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Saat Umar menjadi Khalifah dia diangkat sebagai amir (gubernur) Madinah sebanyak 3 kali di ibukota atau di wilayah pusat kekuasaan, dan dia juga ditugaskan untuk mengumpulkan al-Quran atas perintah Abu Bakar dan Umar sebagai mana dijelaskan dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Zaid bin Tsabit berkata” Aku disuruh menghadap Abu Bakar berkenaan dengan pembunuhan yang dilakukan penduduk Yamamah, dan ketika itu dihadapan nya ada Umar bin al-Khaththab. Lalu Abu Bakar berkata, “Jika perang terus berkecamuk banyak memakan korban jiwa kaum muslimin, banyak para penghapal al-Quran di negeri ini terbunuh, dimana akhirnya banyak bagian al-Quran yang hilang maka agar al-Quran dibukukan, aku berpandangan sama dengan Umar, engkau laki laki yang cerdas dan masih muda, maka cari dan kumpulkanlah (Mushaf) al-Quran”.

Zaid bin Tsabit adalah seorang ulama yang kedudukannya sama dengan para ulama dari kalangan sahabat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ”Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh adalah Zaid bin Tsabit”. Riwayat lain yang senada terdapat dalam riwayat Imam an-Nasa’I dan Ibnu Majah, dimana nabi bersabda, ”Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar, yang paling kuat kesaksiannya dihadapan Allah adalah Umar, yang paling diakui perasaan malunya adalah Utsman dan yang paling menguasai faraidh adalah Zaid bin Tsabit.”.

Ketika Zaid bin Tsabit wafat maka Abu Hurairah berkata, ”Telah wafat orang terbaik dari umat ini semoga Allah menjadikan Ibnu abbas sebagai penggantinya”.


Wafatnya
Ia wafat di Madinah pada tahun 45 H dalam usia 56 tahun (dalam riwayat lain ia wafat tahun 51 H atau 52 H).


Sumber :
- Zaid bin Tsabit dalam dari biografi Shafwah ash shafwah Ibnu Jauzi, Al-Istia’aab Ibn Al-Barr.

diakses dari forum-unand.blogspot.com

Abdullah bin Khuzafah As Sahmi Bertemu Kaisar Romawi

Pada tahun 19 H, Umar ibnul Khaththab mengutus pasukan memerangi Romawi. Salah seorang di antara mereka adalah Abdullah ibnu Huzhafah as-Sahmi. Saat itu, Kaisar Agung Romawi mengetahui kabar kedatangan pasukan muslimin, kekuatan iman yang ada di dalam dada mereka, keyakinan teguh mereka, serta keikhlasan atas diri mereka di jalan Allah.

Lalu ia menyuruh pasukannya jika menang atas pasukan muslimin untuk membawa hidup-hidup tawanan kepadanya dan Allah menakdirkan Abdullah ibnu Huzhafah termasuk dalam tawanan pasukan Romawi itu. Mereka membawa Huzhafah menghadap Kaisar. Mereka berkata, “Orang ini adalah tawanan dari sahabat Muhammad yang telah lama memeluk Islam. Kami membawanya untukmu.”

Raja Romawi menatap Abdullah ibnu Huzhafah dalam-dalam dan berkata, “Aku akan menawarkan kepadamu sesuatu?”

Abdullah menjawab, “Apa itu?”

Raja Romawi tadi, “Aku menawarkanmu untuk memeluk Nasrani. Jika engkau lakukan, aku akan membebaskanmu dan memberimu kemuliaan.”

Berkatalah Abdullah, “Enyahlah, sesungguhnya, kematian lebih aku sukai seribu kali lipat daripada apa yang engkau tawarkan.”

Kaisar pun berkata, “Tetapi aku melihatmu sebagai seorang laki-laki yang kesatria. Jika kau mengabulkan tawaranku, aku akan membagimu kerajaanku dan menjadikanmu pemimpin.”

Tersenyumlah Abdullah yang terikat itu dan berkata, “Demi Allah, seandainya engkau pun akan memberikan seluruh kerajaanmu dan seluruh kerajaan yang ada di Arab agar aku meninggalkan agama Muhammad, sungguh tidak akan pernah aku lakukan.”

Raja itu kemudian berkata, “Aku akan membunuhmu!” Abdullah menjawab, “Silakan kerjakan apa yang kau inginkan.”

Lalu Kaisar menyuruh pengawalnya untuk menyalib Abdullah. Ia berkata kepada algojonya, “Panahlah dari dekat mulai dari tangannya.”

Raja Romawi itu terus menawarkan Abdullah untuk memeluk Nasrani, tetapi Abdullah tetap dalam pendiriannya.

Raja itu berkata lagi, “Panahlah kedua kakinya,” sambil terus menawarkan Abdullah agar meninggalkan agama Muhammad. Akan tetapi, Abdullah tetap dalam pendiriannya.

Lalu Raja Romawi tadi memerintahkan untuk berhenti dan menurunkan Abdullah dari tiang salib. Kemudian ia memerintahkan untuk mengambil kuali besar dan memasukkan minyak ke dalamnya. Lalu kuali itu dipanaskan di perapian. Dan ia menyuruh membawa para tawanan dan melemparkannya salah seorang mereka ke dalamnya, sehingga dagingnya remuk dan meleleh hingga tulangnya kelihatan.

Lalu Kaisar menoleh kepada Abdullah ibnu Huzhafah dan mengajaknya untuk memeluk Nasrani. Tetapi hasilnya, Abdullah semakin mantap dengan pendiriannya.

Ketika kaisar telah putus asa, ia memerintahkan untuk melemparkan Abdullah ke dalam kuali yang telah dimasuki dua orang sahabatnya. Ketika akan masuk, ia menangis dan air matanya bercucuran. Para pengawal tadi pun memberi tahu Raja Romawi tadi bahwa Abdullah menangis.

Raja Romawi itu mengira bahwa Abdullah takut dan berkata, “Kembalikan ia kepadaku.”

Ketika berada di depan Raja Romawi, ia kembali menawarkannya memeluk Nasrani, tetapi Abdullah tetap enggan. Kaisar berkata, “Celakalah engkau! Lalu apa yang membuatmu menangis?”

Abdullah berkata, “Yang membuatku menangis adalah bahwa aku berkata kepada diriku, ‘Sekarang kau dilemparkan ke kuali ini dan kau pun mati, sedang aku ingin sekali memiliki nyawa yang banyak bagi jasadku, sehingga semuanya dilemparkan ke dalam kuali di jalan Allah.’”

Kaisar lalu berkata, “Maukah engkau mencium dahiku dan aku akan melepaskanmu?”

Abdullah berkata, “Engkau akan melepaskan semua kaum muslimin?”

Kaisar berkata, “Ya, semua kaum muslimin.”

Abdullah berkata, “Aku berkata di dalam hatiku. Ia adalah musuh Allah, aku mencium dahinya lalu ia melepaskanku dan semua kaum muslimin, hal itu tak ada masalah bagiku.”

Lalu ia mendekat dan mencium dahinya. Kemudian Kaisar melepaskannya dan semua kaum muslimin.

Setelah peristiwa itu, Abdullah ibnu Huzhafah datang menghadap Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu … Lalu ia menceritakan semua yang dialaminya. Mendengar cerita itu, Umar al-Faruq amat senang.

Ketika ia melihat para tawanan, ia berkata, “Setiap muslim wajib mencium dahi Abdullah ibnu Huzhafah. Dan akulah yang akan mencium pertama kali.” Kemudian ia berdiri dan mencium dahinya.



Sumber :
- Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.

Abdullah bin Khuzafah As Sahmi Bertemu Kisra

Sahabat yang memeluk Islam dari sejak dini sempat mengikuti emigrasi ke Abessinia kemudian hijrah ke Madinah. Beliau sempat mengikuti penaklukan daerah Syam (Suriah dan sekitarnya), tapi malang beliau tertawan oleh pasukan Romawi dalam penyerbuan di Kaisariah. Beliau meninggal di Mesir di masa pemerintahan Utsman bin Affan.

Seorang sahabat yang dikenal dengan Abdullah ibnu Huzhafah as-Sahmi. Sejarah telah mencatat sepak terjang laki-laki ini sebagaimana pahlawan yang tidak pernah hilang dari benak orang Arab, bahkan Islam amat berjasa kepada Abdullah ibnu Huzhafah dengan mempertemukannya dengan para pemimpin dunia pada masa hidupnya seperti Kisra Parsi dan Kaisar Rum. Kisah Abdullah ibnu Huzhafah dengan kedua raja itu merupakan cerita yang tidak akan terlupakan sepanjang masa dan akan senantiasa terukir di dalam sejarah.

Kisah dengan Kisra Raja Parsi terjadi tahun 6 H ketika Nabi berniat untuk mengutus beberapa sahabat beliau untuk menyampaikan surat-surat kepada raja-raja non-Arab untuk mengajak mereka memeluk Islam. Dan Rasulullah amat mengetahui risiko dari tugas-tugas itu. Para utusan tersebut akan pergi menuju daerah-daerah yang ditentukan oleh Nabi yang belum pernah mereka tempuh sebelumnya. Para utusan tadi tidak menguasai bahasa mereka dan tidak mengetahui bagaimana karakter raja-raja tersebut. Mereka akan mengajak raja-raja tersebut untuk meninggalkan agama mereka, melepaskan wibawa dan kekuasaan mereka, selanjutnya memeluk suatu agama yang sebelum ini pengikutnya berasal dari masyarakat mereka sendiri. Ini merupakan perjalanan yang amat berisiko. Hidup dan kembali dengan selamat atau mati di sana.

Karena tugas yang mulia dan berat ini, Rasulullah mengumpulkan para sahabat beliau dan berkhotbah di depan mereka. Setelah mengucapkan hamdalah membaca syahadat, Rasulullah berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku berniat untuk mengutus sebagian kalian kepada para raja non-Arab. Maka janganlah kalian berseteru dengan mereka sebagaimana kaum bani Israel terhadap Isa ibnu Maryam.”

Para sahabat berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, kami akan melaksanakan apa yang engkau inginkan. Maka utuslah siapa saja dari kami yang engkau kehendaki.”

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. memilih enam orang sahabat beliau untuk menyampaikan surat dakwah kepada para raja Arab dan non-Arab. Salah seorang dari mereka adalah Abdullah ibnu Huzhafah as-Sahmi. Ia diutus untuk menyampaikan surat Nabi kepada Kisra Raja Persia.

Abdullah ibnu Huzhafah telah mempersiapkan perjalanannya. Ia meninggalkan istri serta anaknya. Dalam perjalanan, ia naik-turun bukit dan lembah seorang diri. Tiada yang menemaninya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga akhirnya ia menginjakkan kaki di perumahan Parsi. Ia kemudian meminta izin untuk menemui raja mereka, salah seorang pengawal mengambil surat yang dibawanya.

Ketika itu, Kisra menyuruh pengawal memanggil para pejabat istana untuk menghadiri majelis. Mereka pun hadir semuanya. Setelah itu, Abdullah ibnu Huzhafah diizinkan memasuki istana.

Abdullah masuk menemui Kisra hanya dengan memakai pakaian yang tipis, selendang yang dijahit tebal. Ia begitu mencerminkan kesederhanaan orang Arab.

Akan tetapi, ia adalah seorang yang tinggi tegap, bahunya lebar dan berisi karena kemuliaan Islam, di hatinya terhunjam kuat keimanan. Ketika Kisra melihatnya dengan mantap dan menyuruh salah seorang pengawalnya mengambil surat yang ada di tangannya, Abdullah berkata, “Tidak. Rasulullah menyuruhku untuk menyerahkannya kepadamu langsung dan aku tidak mau menyalahi amanah Rasulullah.”

Kisra pun berkata kepada pengawalnya, “Biarkanlah dia memberikannya kepadaku.”

Lalu Abdullah mendekati Kisra dan menyerahkan surat tersebut. Kemudian Kisra memanggil seorang penulis bangsa Arab dari Hirah dan menyuruhnya untuk membuka surat yang ada di tangannya dan membacakan surat tersebut kepadanya.

Bismillahirhamanirrahim.

Dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra yang agung Raja Parsi, keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk.

Tatkala Kisra mendengar potongan kalimat tersebut, bergejolaklah api kemarahan menyesakkan dadanya. Mukanya memerah, keluarlah keringatnya karena marah, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memulai suratnya dengan namanya sendiri. Kisra langsung merebut surat itu dan merobeknya tanpa ingin mengetahui lanjutan isi surat tersebut. Ia berkata dengan nada marah, “Apakah ia menulis ini untukku, padahal ia adalah hambaku?”

Kemudian ia mengusir Abdullah ibnu Huzhafah dari istana. Abdullah pun langsung keluar. Abdullah ibnu Huzhafah keluar dari istana Kisra dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dibunuh atau dibiarkan bebas? Akan tetapi, ia tetap yakin dan berkata, “Demi Allah, aku tak peduli apa yang akan terjadi setelah aku menyampaikan surat Rasul.”

Lalu ia pun menunggangi kudanya dan pergi. Setelah kemarahan Kisra reda, ia menyuruh pengawalnya untuk memanggil Abdullah, tetapi Abdullah sudah tidak ada. Mereka mencari-carinya di setiap tempat. Mereka mencarinya di jalan menuju Arab dan mereka hanya mendapati bekas jejaknya.

Ketika Abdullah menghadap Rasul, ia menceritakan apa yang telah terjadi tentang Kisra yang merobek surat beliau. Mendengar hal itu, Rasul hanya berkata, “Allah akan menghancurkan kerajaannya.”

Kemudian, Kisra menyuruh wakilnya, Badzan, di Yaman untuk mengutus dua orang kuat dari Hijaz untuk menyusul Abdullah dan membawanya kembali. Lalu Badzan mengutus dua orang laki-laki pilihannya menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan sebuah surat. Surat tersebut berisi agar Rasul membiarkan orang tersebut membawa Abdullah ke Kisra segera. Badzan meminta dua orang tersebut menemui Rasul dan mengutarakan urusannya.

Maka dua orang itu pun segera berangkat. Ketika sampai di Thaif, ia menjumpai para pedagang Quraisy dan bertanya kepada mereka tentang Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menjawab, “Ia sekarang ada di Yatsrib.”

Para pedagang tadi membawa berita gembira tersebut ke Mekah. Mereka menceritakan berita baik itu kepada kaum Quraisy dan berkata, “Bergembiralah. Sesungguhnya, Kisra akan menghalangi Muhammad dan akan menghentikan dakwahnya.”

Sedangkan dua orang utusan itu terus melanjutkan perjalanan ke Madinah. Setelah menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka memberikan surat Badzan dan berkata, “Maharaja Kisra menulis surat kepada raja kami, Badzan, untuk menjemput kembali orang yang datang kepadanya beberapa hari yang lalu. Kami datang untuk menjemputnya. Jika engkau mengizinkan, Kisra mengucapkan terima kasih kepadamu dan membatalkan niatnya untuk menyerangmu. Jika engkau enggan mengizinkannya, maka dia sebagaimana engkau ketahui, kekuatannya akan memusnahkanmu dan kaummu.”

Rasulullah pun tersenyum dan berkata kepada utusan itu, “Sekarang pulanglah kalian berdua dan besok kembali lagi.”

Keesokan harinya, utusan itu kembali menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Apakah engkau telah mempersiapkan apa yang akan kami bawa menemui Kisra?”

Nabi berkata, “Kalian berdua tidak akan menemui Kisra setelah hari ini. Allah akan membunuhnya. Pada malam ini, bulan ini, anaknya, Syirawaih akan membunuhnya.”

Mereka menatap tajam wajah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka terlihat sangat geram lalu berkata, “Kau sadar apa yang kau ucapkan? Kami akan mengadukannya kepada Badzan.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Silakan! Katakan kepadanya, ‘Agamaku akan sampai dan tersebar di kerajaan Kisra.’ Dan kamu, jika engkau masuk Islam aku akan menjadikanmu raja bagi kaummu.”

Kedua utusan itu pergi dari hadapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka langsung menemui Badzan dan menceritakan apa yang telah terjadi. Badzan berkata, “Jika benar apa yang kalian katakan, berarti ia benar adalah seorang Nabi. Jika tidak, kita akan lihat apa yang akan terjadi.”

Belum lama mereka bersama Badzan, datanglah surat dari Syirawaih, “Aku telah membunuh Kisra untuk membalaskan dendam kaum kami. Ia telah membunuh orang yang kami muliakan, menawan para wanita kami, dan merampas harta-harta kami. Jika surat ini datang ke tanganmu, maka aku sekarang adalah raja kalian.”

Setelah membaca surat itu, ia membuangnya dan langsung menyatakan memeluk Islam, kemudian orang-orang Furs dan Yaman juga memeluk Islam.

Sumber :
- Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.