Tidak ada yang lebih aku sesali dari pada penyesalanku terhadap hari dimana ketika matahari tenggelam, sementara umurku berkurang tetapi amalku tidak bertambah (Abdullah bin Mas'ud).
Tampilkan postingan dengan label Thulabul Ilmi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thulabul Ilmi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 April 2011

Hati Dikatakan Sehat, Bila....

Hati adalah raja, sedangkan seluruh tubuh adalah prajurit pelaksana titah-titahnya. Aktivitas tidak dinilai benar jika tidak diniatkan dan dimaksudkan oleh hati. Di kemudian hari, hati akan ditanya tentang pora prajurit-prajuritnya.Sebab setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.

Hati itu bisa hidup dan mati. sehubung dengan itu hati dapat dikelompokkan menjadi:
1. Hati yang sehat
Hati yang sehat adalah hati yang selamat. 

Allah berfirman:
"Adalah hari, dimana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat"(Q.S. Asy-Syu'ara : 88-89). 

Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyelewengkan dari kebenaran. Hati yang sehat tidak pernah beribadah kepada selain Allah dan berhukum kepada selain Rasulullah. 'Ubudiyah-nya murni kepada Allah. Iradah, mahabbah, inabah, ikhbat, khasyyah, raja', dan amalnya, semuanya lil-Lah, semata karena Allah.

Hati yang sehat jika ia mencintai, membenci, memberi, menahan diri, semuanya dilakukan karena Allah. Ini saja tidak dirasa cukup, sampai ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani lancang mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan.

2. Hati yang mati
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabb-nya. Ia tidak beribadah kepada-Nya, enggan menjalankan perintah-Nya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Hati seperti ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah. Ia tidak peduli dengan keridhaan dan kemurkaan Allah. Baginya yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah.

Hati yang mati apabila ia mencinta, membenci, memberi dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai dari pada keridhaan Allah. hawa nafsu menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi.

Ia diseru kepada Allah dan negeri akhirat, tetapi ia berada ditempat yang jauh, sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia setia mengikuti setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta terhadap kebenaran.

3. Hati yang sakit
Hati yang sakit yaitu hati yang hidup, tetap mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada iman, dan kadang-kadang pula cenderung kepada "penyakit". Padanya terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah, yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula terdapat pula kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad, kibr, dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada di antara dua penyeru; penyeru keoada Allah dan rasul serta hari akhir, dan penyeru pada kehidupan duniawi. Seruan yang disambutnya adalah seruan yang paling akrab.

Indikasi Sakit-Sehatnya Hati
Hati seseorang bisa sakit. Sakitnya hati bisa semakin parah bahkan menjadi mati tanpa disadari pemiliknya. Pertanda hati itu sakit atau mati adalah ia tidak dapat merasakan sakitnya maksiat dan betapa menderitanya kebodohan tentang kebenaran serta memiliki aqidah yang sesat. Sebab hati yang sehat pasti akan tersiksa jika ia melakukan sesuatu yang buruk. Begitu juga jika ia bodoh tentang kebenaran.

Terkadang, seseorang yang memiliki hati yang sakit dapat merasakan penyakitnya. Namun ia tidak tahan mengecap obat penawar.

Di antara tanda sakitnya hati adalah keengganan mengkonsumsi "makanan" yang bermanfaat. Justru cenderung kepada yang mendatangkan kemudharatan. Juga enggan terhadap obat dan cenderung terhadap racun yang berbahaya. Hati yang sehat selalu mengutamakan "makanan" yang bermanfaat dari pada racun yang mematikan. Makanan terbaik adalah keimanan. Obat terbaik adalah Al-Qur'an.

Tanda lain sehatnya hati adalah kecondongan dirinya terhadap akhirat. Di sana ia tinggal, dan seakan-akan menjadi penghuninya. Kehadirannya di dunia ini ibarat orang asing yang mengambil kebutuhan, lalu kembali ke negerinya. 

Kepada Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda:
"Di dunia ini hendaklah kamu berlaku seperti orang asing, atau orang yang lewat"(HR. Bukhari).

Tanda sehatnya hati adalah selalu mengingat yang memiliki hati, yaitu Allah. Sehingga ia mau kembali ke jalan Allah, tunduk bergantung kepada-Nya sebagaimana bergantungnya seorang yang mencinta kepada yang dicintainya. Ia selalu berzikir mengingat Allah dan berkhidmat kepada-Nya.

Seorang yang memiliki hati sehat akan merasa tersiksa dan sakit apabila tidak sempat dzikir atau membaca Al-Qur'an atau suatu ibadah. Sakit yang ia rasakan melebihi sakitnya seorang kaya yang kehilangan harta.


Sumber : Tazkiatun Nafs, oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali.

Jumat, 08 April 2011

Atsar Tentang Ikhlas

            Ikhlas adalah memurnikan tujuan ber-taqarrub kepada Allah dari hal-hal yang mengotori. Arti lainnya menjadikan Allah satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan, atau mengabaikan pandangan makhluk lain dengan cara berkosentrasi kepada Al-Khaliq. Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amal shalih yang dilakukan sesuai sunnah Rasulullah. Berikut ini beberapa atsar tentang ikhlas:
1. Ya’qub berkata,”Orang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikan dirinya sebagaimana dia menyembunyikan keburukan-keburukannya”.
2. As-Suusiy berkata,”Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Siapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi.
  
Apa yang disampaikan di atas menjelaskan tentang membersihkan amal dari sifat ‘ujub. Merasa ikhlas melihat keikhlasan diri adalah ‘ujub. Dan itu merupakan salah satu perusak keikhlasan. Amal yang ikhlas adalah amal yang bersih dari segala jenis perusak keikhlasan.

3. Ayyub berkata,’bagi para aktivis, mengikhlasan niat jauh lebih sulit dari pada melakukan seluruh aktivitas.
4. Suhail pernah ditanya tentang sesuatu yang paling berat baginya. Sia menjawab,”Ikhlas, sebab dengan ikhlas, diri tidak mendapat bagiandari apa yang dikerjakan sama sekali.”
5. Fudhail berkata,”Menunggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’, sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkan kamu dari keduanya.

Milik Allah-lah segala puji dan anugerah. Dia pelindung kita dan kepada-Nya kita kembali.
Wallahu a’alam.

Sumber : Tazkiatun Nafs, oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali.

Rabu, 08 Desember 2010

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM

Dari Abu Bakrah, Rasulullah bersabda:

“Satu tahun itu dua belas bulan.Diantaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Satu lagi adalah bulan Rajab yang terletak antara Jumadist Tsani dan Sya’ban”(HR.Bukhari,2958).

Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah membuka awal tahun dengan bulan haram, dan menutup dengan bulan haram pula. Tidak ada bulan yang lebih agung di sisi Allah setelah Ramadhan di bandingkan bulan Muharram”.Pengagungan bulan ini bertambah mulia dengan penyandaran bulan ini kepada Allah. Nabi menyebutkan bulan Muharram dengan nama Syahrullah(bulan Allah).

Abu Utsman an-Nahdi mengatakan,”Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”. Pada hari-hari tersebut disunnahkan memperbanyak amalan shalih, bertaubat dan berpuasa.

Pada bulan ini dosa dibalas dengan dosa yang besar, begitu juga dengan perbuatan baik. Untuk itu sangat dianjurkan bertaubat, meskipun taubat adalah tugas seumur hidup. Dan pada bulan ini pula disunnahkan berpuasa. Akan tetapi perlu diingat, tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena Rasulullah tidak pernah berpuasa pada sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan saja(HR. Bukhari,1971 dan Muslim,1157).

Rasulullah bersabda :

“Puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa Syahrullah al-Muharram”(HR.Muslim,1982).

Puasa ‘Asyura

‘Asyura adalah hari ke sepuluh bulan Muharram. Merupakan hari yang mulia. Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi tiba di Madinah dan dia mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Nabi bertanya,”Puasa apa ini?”mereka menjawab,”Hari ini adalah hari baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isra’il dari kejaran muasuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa bersyukurnya kepada Allah.”Nabi berkayta,”Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”Akhirnya nabi berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa(HR.Bukhari dan Muslim).

Namun untuk menyelisihi orang-orang Yahudi kita disunnahkan berpuasa tanggal 9 dan 10(sebagaimana banyak ditunjukkan hadist). Namun berpuasa tanggal 10 saja tidak apa-apa,tapi tidak boleh berpuasa tanggal 9 saja. Sebelum diturunkan perintah puasa Ramadhan, Rasulullah mewajibkan puasa ‘Asyura.

Sumber : Ensiklopedi Amalan Sunnah di bulan Hijriyah, karya Abu ‘Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa.

Kamis, 25 November 2010

Dalil-Dalil Tentang Berobat

1. Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

4. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)

5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)

6. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari obat yang buruk (haram).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255) [Lihat kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=294

Senin, 23 Agustus 2010

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan,

“Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya (yang artinya), “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”

Kembali beliau memaparkan,

“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17). Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149).

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 07 Juli 2010

PERINGATAN ISRA’ MI’RAJ 5 KALI SEHARI

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Suatu hal yang penting kita pahami dari isra’ mi’raj adalah sebuah peristiwa penting yaitu perintah shalat lima waktu yang merupakan rukun islam ke dua setelah syahadat. Shalat merupakan sarana utama dalam berzikir dan meminta kepada Allah. Jadi alangkah bijaknya kalau dalam memperingati isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad tidak hanya sekali setahun, tetapi minimal lima kali sehari karena inti dari peristiwa isra’ mi’raj adalah diwajibkannya shalat sebagai ibadah yang agung.

Allah berfirman :“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 11)

Rasulullah bersabda : Dari ‘Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang maknanya):“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, serta berpuasa pada bulan Ramadhan.”

Maka jadilah muslim yang bijak yang bersungguh-sungguh dalam mendirikan shalat. Shalat tepat waktu dan tidak lalai dalam waktu shalat serta mendirikan shalat secara berjamaah merupakan cara mengamalkan ibadah yang dijemput langsung oleh Rasulullah ketimbang hanya merayakan isra’ mi’raj sekali dalam setahun.
Oleh : Abu Yahya dari berbagai sumber

Rabu, 30 Juni 2010

KEMULIAAN BULAN SYA’BAN

Bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia, hendaknya kita mengisinya dengan memperbanyak amalan ibadah dan puasa secara khusus dengan memperbanyak amalan ibadah puasa secara khusus untuk melatih diri persiapan menyambut bulan Ramadhon agar nanti tidak kaget dengan perubahan spontan sehingga terasa berat bagi kita. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.

Hadist Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam :
Dari ‘Aisyah radhiallahu anha : “saya tidak pernah mengetahui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam puasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhon, dan saya tidak pernah mengetahui dia lebih banyak berpuasa dari pada bulan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari, 1968. Muslim, 782).

Hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dijelaskan dalam hadist yang lain :
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhu berkata : Saya bertanya: “Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa di bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban (karena seringnya).” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam menjawab, “Bulan itu, banyak manusia lalai, yaitu antara bulan Rajab dan Ramadhon, bulan diangkat amal-amal kepada Robb semesta alam, dan saya ingin untuk diangkat amalku dalam keadaan puasa.” (HR. An-Nasaa’I 4/4201. Ahmad, 5/201. Dihasankan Syaikh Al-Abani dalam Ash-Shahihah, 4/1898).

Ketahuilah bahwa menghidupkan waktu yang dilalaikan manusia memiliki beberapa faedah :
1. Lebih tersembunyi dan jauh dari riya’.
2. Lebih berat bagi jiwa, karena tabi’at manusia ingin ikut kebanyakan manusia.
3. Membela dan melindungi seluruh manusia dengan ketaatan, dari bencana.
(lihat Latha’iful Ma’arif, halaman 253).

Hikmah lainnya adalah untuk mempersiapkan bulan Ramadhon, agar hati dan badan siap untuk menyambutnya dengan kesegaran dalam menjalani ketaatan kepada Allah.


Sumber : Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriah karya Abu ‘Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa.

Sabtu, 13 Februari 2010

Wanita yang Lebih Cantik dari Bidadari Surga

Harumnya Bidadari

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak. Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kecantikan Fisik

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rombongan yang pertama masuk surga adalah dengan wajah bercahaya bak rembulan di malam purnama. Rombongan berikutnya adalah dengan wajah bercahaya seperti bintang-bintang yang berkemilau di langit. Masing-masing orang di antara mereka mempunyai dua istri, dimana sumsum tulang betisnya kelihatan dari balik dagingnya. Di dalam surga nanti tidak ada bujangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِينٍ

“Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.” (Qs. Ad-Dukhan: 54)

Abu Shuhaib al-Karami mengatakan, “Yang dimaksud dengan hur adalah bentuk jamak dari haura, yaitu wanita muda yang cantik jelita dengan kulit yang putih dan dengan mata yang sangat hitam. Sedangkan arti ‘ain adalah wanita yang memiliki mata yang indah.

Al-Hasan berpendapat bahwa haura adalah wanita yang memiliki mata dengan putih mata yang sangat putih dan hitam mata yang sangat hitam.

Sopan dan Pemalu

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati bidadari dengan “menundukkan pandangan” pada tiga tempat di Al-Qur’an, yaitu:

“Di dalam surga, terdapat bidadari-bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? Seakan-akan biadadari itu permata yakut dan marjan.” (Qs. Ar-Rahman: 56-58)

“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.” (Qs. Ash-Shaffat: 48)

“Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya.”

Seluruh ahli tafsir sepakat bahwa pandangan para bidadari surgawi hanya tertuju untuk suami mereka, sehingga mereka tidak pernah melirik lelaki lain.

Putihnya Bidadari

Allah Ta’ala berfirman, “Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (Qs. ar-Rahman: 58)

al-Hasan dan mayoritas ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah bidadari-bidadari surga itu sebening yaqut dan seputih marjan.

Allah juga menyatakan,“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah.” (Qs. Ar-Rahman: 72)

Maksudnya mereka itu dipingit hanya diperuntukkan bagi para suami mereka, sedangkan orang lain tidak ada yang melihat dan tidak ada yang tahu. Mereka berada di dalam kemah.

Baiklah…ini adalah sedikit gambaran yang Allah berikan tentang bidadari di surga. Karena bagaimanapun gambaran itu, maka manusia tidak akan bisa membayangkan sesuai rupa aslinya, karena sesuatu yang berada di surga adalah sesuatu yang tidak/belum pernah kita lihat di dunia ini.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh pikiran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah mengetahui sifat fisik dan akhlak bidadari, maka bukan berarti bidadari lebih baik daripada wanita surga. Sesungguhnya wanita-wanita surga memiliki keutamaan yang sedemikian besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits,

“Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan lagi, seorang manusia telah Allah ciptakan dengan sebaik-baik rupa,

“Dan manusia telah diciptakan dengan sebaik-baik rupa.” (Qs. At-Tiin: 4)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”

Beliau shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”

Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”

Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.” (HR. Ath Thabrani)

Subhanallah. Betapa indahnya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah perkataan yang seharusnya membuat kita, wanita dunia, menjadi lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menjadi wanita shalihah. Berusaha untuk menjadi sebaik-baik perhiasan. Berusaha dengan lebih keras untuk bisa menjadi wanita penghuni surga..


Maraji’:
Mukhtashor Hadil al-Arwah ila Bilad al-Afrah (Tamasya ke Surga) (terj), Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah.

Sumber : www.muslimah.or.id

Kamis, 28 Januari 2010

KRITERIA PENGHUNI SURGA

1. Muttaqin, yaitu orang yang bertaqwa kepada Robb mereka.
2. Orang-orang yang beriman (al-mu’minun)
3. Orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya.
4. Orang-orang yang menjauhi diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.
5. Orang-orang yang menunaikan zakat.
Yang dimaksud dengan zakat di sini adalah bagian dari harta yang harus dikeluarkan zakatnya, dan juga berarti segala sesuatu yang bias menyucikan jiwa mereka, berupa perkataan maupun perbuatan. (Salah satu arti zakat itu adalah “menyucikan”).
6. Orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
7. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
8. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.
9. Orang-orang yang menahan amarahnya.
10. Orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain.
11. Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri-sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadaap dosa-dosa mereka.
12. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mengetahui.

Sumber : Kajian Ramadhon karangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin

Mani, Wadi dan Madzi

Mani

Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus mandi besar / mandi junub. Hukum air mani adalah suci dan tidak najis ( berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun apabila air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, beliau berkata “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.” (HR. Muslim)

Wadi

Wadi adalah air putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing. Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci.



Madzi

Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi, hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan). Keluarnya air madzi membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim)

Rabu, 23 Desember 2009

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM

Dari Abu Bakrah, Rasulullah bersabda:
“Satu tahun itu dua belas bulan.Diantaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Satu lagi adalah bulan Rajab yang terletak antara Jumadist Tsani dan Sya’ban”(HR.Bukhari,2958).

Hasan al-Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah membuka awal tahun dengan bulan haram, dan menutup dengan bulan haram pula. Tidak ada bulan yang lebih agung di sisi Allah setelah Ramadhan di bandingkan bulan Muharram”.Pengagungan bulan ini bertambah mulia dengan penyandaran bulan ini kepada Allah. Nabi menyebutkan bulan Muharram dengan nama Syahrullah(bulan Allah).

Abu Utsman an-Nahdi mengatakan,”Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”. Pada hari-hari tersebut disunnahkan memperbanyak amalan shalih, bertaubat dan berpuasa.

Pada bulan ini dosa dibalas dengan dosa yang besar, begitu juga dengan perbuatan baik. Untuk itu sangat dianjurkan bertaubat, meskipun taubat adalah tugas seumur hidup. Dan pada bulan ini pula disunnahkan berpuasa. Akan tetapi perlu diingat, tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena Rasulullah tidak pernah berpuasa pada sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan saja(HR. Bukhari,1971 dan Muslim,1157).

Rasulullah bersabda :
“Puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa Syahrullah al-Muharram”(HR.Muslim,1982).

Puasa ‘Asyura
‘Asyura adalah hari ke sepuluh bulan Muharram. Merupakan hari yang mulia. Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi tiba di Madinah dan dia mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Nabi bertanya,”Puasa apa ini?”mereka menjawab,”Hari ini adalah hari baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isra’il dari kejaran muasuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa bersyukurnya kepada Allah.”Nabi berkayta,”Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”Akhirnya nabi berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa(HR.Bukhari dan Muslim).

Namun untuk menyelisihi orang-orang Yahudi kita disunnahkan berpuasa tanggal 9 dan 10(sebagaimana banyak ditunjukkan hadist). Namun berpuasa tanggal 10 saja tidak apa-apa,tapi tidak boleh berpuasa tanggal 9 saja. Sebelum diturunkan perintah puasa Ramadhan, Rasulullah mewajibkan puasa ‘Asyura.

Sumber : Ensiklopedi Amalan Sunnah di bulan Hijriyah, karya Abu ‘Ubaidah Yusuf as-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa.

Kamis, 19 November 2009

MENGEJAR AMPUNAN DI HARI ARAFAH

Dituturkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:

“Tidak ada suatu hari yang Allah lebih banyak membebaskan seseorang dari api Neraka melainkan hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat dan berbangga di hadapan malaikatnya seraya berkata: Apa yang mereka inginkan?”(HR. Muslim,1348).
Selanjutnya dari Abu Qatadah bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab :

“Puasa Arafah menghapus dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang”(HR. Muslim,1662).

Ketahuilah bahwa hari Arafah merupakan hari yang penuh dengan keutamaan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Karena hari Arafah adalah hari pengampunan dosa, hari bagi jemaah haji untuk wukuf, dan dianjurkan bagi yang tidak berhaji untuk berpuasa pada hari itu. Hari itu adalah hari penyempurnaan agama dan nikmat yang agung kepada umat islam. Hingga mereka tidak butuh agama selainnya. Allah menjadikan agama islam sebagai agama penutup dari ummat ini, tidak diterima agama apapun selain islam.

Dari ‘Umar bin Khaththab bahwasanya seorang Yahudi yang berkata padanya,”Wahai Amirul Mu’minin, sebuah ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya, andaikata ayat itu turun kepada kami,niscaya hari turunnya ayat itu akan kami jadikan hari raya.” ‘Umar bertanya,”Ayat apa itu?” Dia menjawab,”Firman Allah yang berbunyi :

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu agamamu.”(QS. Al-Maidah (5) : 3).

‘Umar kembali berkata,”Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunya ayat itu, ayat itu turun kepada Nabi kita dan dia sedang berdiri di Arafah pada hari jum’at.”(HR. Bukhari,45.Muslim,3017).


Sumber : Ensiklopedi Amalan Sunnah di bulan Hijriah, karya Abu ‘Ubaidah Yusuf as Sidawi dan Abu‘Abdillah Syahrul Fatwa.