Tidak ada yang lebih aku sesali dari pada penyesalanku terhadap hari dimana ketika matahari tenggelam, sementara umurku berkurang tetapi amalku tidak bertambah (Abdullah bin Mas'ud).

Rabu, 27 Januari 2010

RESIKO DIABETES PADA PENDERITA INSOMNIA

Author :
Imil Irsal Imran


Setiap orang mungkin pernah mengalami gangguan tidur. Adakalanya seseorang kesulitan untuk mulai tidur atau mempertahankan tidurnya. Atau seseorang terlalu cepat bangun (www.nhlbi.nih.gov). Akibatnya tubuh tidak punya cukup waktu untuk istirahat. Kondisi ini disebut dengan insomnia.

Akibat dari insomnia adalah kurangnya jam tidur. Akibatnya tubuh akan mengalami stress fisik. Jika dikombinasikan dengan pola hidup tidak sehat dapat berisiko penyakit degenerative. Salah satu penyakit degenerative yang ditakutkan adalah diabetes mellitus tipe 2. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa gangguan metabolik dan hormonal dapat dihubungkan dengan kuantitas dan kualitas tidur kurang yang diakumulasikan dalam beberapa hari berurutan. Kesempatan untuk pemulihan kembali kuantitas tidur yang kurang tersebut adalah komponen penting bagi status kesehatan orang dewasa (Cauter 1997).

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang bersifat kronik dan tidak dapat disembuhkan. Penderita diabetes mellitus tipe 2 harus berobat sampai kadar glukosa darahnya normal. Setelah normal penderita harus mampu mengontrol gula darah seumur hidup. Oleh sebab itu perlu menghindari insomnia agar terhindar dari diabetes mellitus tipe 2.

Insomnia adalah kesulitan dalam memulai tidur, mempertahankan tidur atau kedua-duanya. Sehingga menyebabkan ketidakcukupan tidur baik disegi kualitas maupun kuantitas. Namun insomnia tidak dapat diartikan tidur dalam waktu yang spesifik. Insomnia adalah gangguan tidur.

Insomnia adalah sebuah gejala, bukan penyakit. Sekitar 30% sampai 50% dari populasi umum pernah mengalami insomnia. 10% di antaranya mengalami insomnia kronik. Dari segi jenis kelamin, wanita lebih sering terkena insomnia dari pada laki-laki. Insiden insomnia meningkat pada orang dengan usia lanjut. Insomnia dapat dipicu oleh konsumsi alkohol dalam waktu yang lama, gangguan kesehatan mental atau stress (www.nhlbi.nih.gov). Faktor-faktor penyebab insomnia antar lain tingkat adaptasi terhadap stres atas tuntutan ritme aktivitas harian, irama atau rutinitas harian, keadaan cuaca atau suhu di saat tidur, merasa sakit, dan mimpi buruk.

Berdasarkan durasinya insomnia dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu transient insomnia, short-term insomnia, dan insomnia chronic. Transient insomnia adalah insomnia yang durasi gejalanya kurang dari satu minggu. Short-term insomnia adalah insomnia yang durasi gejalanya antara satu sampai tiga minggu. Sedangkan insomnia chronic durasi gejalanya diderita lebih dari tiga minggu. Stres sering memicu insomnia akut atau short-term insomnia.

Secara umum insomnia dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah insomnia sekunder atau komorbiditas. Insomnia sekunder adalah insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu seperti obat-obatan, gangguan tidur, dan zat-zat yang dapat menyebabkan insomnia sekunder. Delapan dari sepuluh penderita insomnia adalah insomnia sekunder. Yang kedua adalah insomnia primer. Insomnia sekunder tidak disebabkan oleh kondisi medis tertentu. Insomnia primer bukan disebabkan oleh masalah medis, obat-obatan, atau bahan lain. Ini adalah kelainan sendiri. Sejumlah perubahan hidup dapat memicu insomnia primer, termasuk tahan lama stres dan gangguan emosional (www.nhlbi.nih.gov).

Akibat insomnia adalah kurang tidur. Hal ini menyebabkan seseorang merasa megantuk yang berlebihan pada siang hari dan kurang energi. Ini dapat menyebabkan orang tersebut cemas, depresi, dan mudah tersinggung. Selain itu juga bisa menyebabkan gangguan kosentrasi sehingga orang insomnia rentan terkena kecelakaan.

Tidur memiliki pengaruh yang berkesinambungan terhadap fungsi endokrin. Untuk beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan (Growth Hormon), 50- 75% dari sekresi total harian tergantung pada tidur dan berkurang karena penurunan durasi tidur. Terdapat suatu bukti yang kuat yang mengindikasikan bahwa gangguan tidur berhubungan dengan berkurangnya tingkat sekresi Hormon Insulin Like Growth Factor (IGF-1), hal ini dapat diasumsikan karena penurunan sekresi growth hormon. Keterbatasan nilai IGF-1 ini berhubungan dengan gambaran darah saat itu ( Buysse et al 1998).

Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa gangguan metabolik dan hormonal dapat dihubungkan dengan kuantitas dan kualitas tidur kurang yang diakumulasikan dalam beberapa hari berurutan. Kesempatan untuk pemulihan kembali kuantitas tidur yang kurang tersebut adalah komponen penting bagi status kesehatan orang dewasa (Cauter 1997).

Kurangnya tidur memiliki efek yang signifikan terhadap sistem endokrin, yang bertanggungjawab untuk pelepasan dan penghambatan beberapa substansi termasuk insulin (Arand 2008). Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah (Sherwood 2001). Insulin berpengaruh langsung dalam hiperglikemia dalam meningkatkan ambilan glukosa baik ke hati maupun ke jaringan (Meyes 2003). Hasil riset terbaru dari University of Chicago membuktikan bahwa orang yang tiga hari kurang tidur, kemampun tubuhnya dalam memproses glukosa akan menurun sehingga beresiko untuk mengidap diabetes (Cauter 1997).

Kurang tidur mengganggu kerja kelenjar adrenal memproduksi DHEA (dehidro-epiandrosteron), senyawa yang membantu merangsang tidur nyenyak. Akibatnya, tubuh menjadi lebih banyak menghasilkan kortisol, suatu steroid pemicu stres. Kortisol adalah hormon yang dihasilkan dikorteks adrenal dan di bawah pengaruh aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Berperan dalam metabolisme, sistem imun dan tekanan darah. Hormon ini sangat penting dalm keaadan stress. Hormon kortisol berperan penting dalam metabolisme glukosa, protein dan lemak. Hormon ini dapat merangsang glukoneogenesis dan menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa di banyak jaringan. Selain itu hormone kortisol juga merangsang penguraian protein dan lipolisis (Sherwood 2001 Kondisi ini mengacaukan respon tubuh terhadap hormon insulin, yang bertugas distribusi gula darah ke seluruh tubuh, baik untuk disimpan maupun digunakan kembali. Dalam jangka panjang, kekacauan respon insulin ini merangsang munculnya gangguan berupa gejala diabetes tipe 2 yang tidak bergantung pada insulin.

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2006). Sedangkan diabetes mellitus tipe 2 adalah satu dari dua golongan utama diabetes mellitus yang tidak membutuhkan insulin eksogen, hanya kontrol dengan atau tanpa obat hipoglikemik oral, onsetnya biasanya antara usia 50 sampai 60 tahun (Dorlan 2006).

Kasus diabetes mellitus tipe 2 dari tahun ke tahun sendiri mengalami peningkatan. Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 8,2 juta jiwa penyandang diabetes. WHO memperkirakan pada tahun 2025 akan terdapat 12,4 juta jiwa penderita diabetes atau naik dua kali lipat dari tahun 1995. Pada tahun 2025 Indonesia diperkirakan berada diperingkat 5 dunia penyandang diabetes terbanyak (Suyono 2007).

Di Amerika serikat diduga terdapat 16 juta kasus diabetes melitus dan 60.000 kasus baru tiap tahunnya. 75% di antaranya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi utamanya (Schteingart 2005). Secara epidemiologi, diabetes sering tidak terdeteksi karena onsetnya atau mulai terjadinya adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan (Gustaviani 2007)

Etiologi diabetes mellitus tipe 2 bervariasi, mulai dari dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai dominan defek sekresi insulin yang disertai resistensi insulin (Konsensus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, 2006). Hal ini bisa terjadi akibat perubahan pola makan dari yang mengandung banyak karbohidrat dan serat ke makanan yang mengandumg terlalu banyak protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Perubahan pola hidup dengan bekerja sampai sore bahkan malam hari menghilangkan kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga (Suyono 2007).

Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 ada yang dapat dimodifikasi ada yang tidak dapat dimodifikasi. Yang tidak dapat dimodifikasi antara lain bertambahnya usia dan genetik. Sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi adalah obesitas yang lebih banyak dan lebih lama, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini akan berinteraksi dengan factor genetik yang berhubungan dengan terjadinya diabetes mellitus tipe2 (Gustaviani 2007).

Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah (Sherwood 2001). Insulin mempunyai peran sentral dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin berpengaruh langsung dalam hiperglikemia dengan meningkatkan ambilan glukosa ke hati dan jaringan. Hormon ini dihasilkan oleh sel β pada pulau-pulau Langerhans pankreas sebagai reaksi langsung terhadap hiperglikemia (Mayes 2003).

Insulin mempunyai efek segera yang meningkatkan ambilan glukosa di jaringan seperti jaringan adiposa dan otot. Kerja ini disebabkan oleh peningkatan transport glukosa (GLUT 40 dari bagian dalam sel ke membrane plasma. Sebaliknya, insulin tidak memiliki efek langsung terhadap penetrasi glukosa pada sel-sel hati; hasil penemuan ini sesuai dengan kenyataan bahwa metabolisme glukosa oleh sel-sel hati tidak dibatasi kecepatannya oleh permeabilitasnya terhadap glukosa. Meskipun demikian, secara tidak langsung insulin akan meningkatkan ambilan jangka panjang glukosa oleh hati sebagai hasil kerjanya pada sintesis enzim yang mengontrol glikolisis, glikogenesis, dan glikoneogenesis. Insulin memiliki efek segera dalam mengaktifkan enzim glikogen sintetase (Meyes 2003).

Diabetes mellitus tipe 2 terjadi disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan, dan defek sekresi insulin yang disertai resistensi insulin (Konsensus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, 2006). Jadi pasien tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Akibatnya akan terjadi hiperglikemi (Schteingart 2005).

Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal maka akan terjadi glikouria. Glikouria akan menyebabkan dieresis osmotic sehingga meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan peningkatan rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Akibatnya pasien akan merasakan rasa lapar yang semakin besar(polifagia). Selain itu pasien akan mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart 2005).

Menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006, ada 3 kriteria diagnosis diabetes mellitus. Pertama adalah gejala klasik dengan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL(11,1 mmol/L), kedua gejala klasik dengan kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dL (7,0 mmol/L), dan ketiga kadar glukosa pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Dengan mencegah insomnia dapat mencegah serangan diabetes mellitus tipe 2. Menghindari konsumsi alkohol dan managemen stress yang baik dapat mencegah insomnia. Kurangi tidur siang, tidak minum kopi pada malam hari serta olah raga secara teratur dapat menjaga diri agar tidak terserang insomnia.

Apabila terkena insomnia sekunder, penatalaksanaannya cukup dengan cara menghindari penyebab. Untuk insomnia akut dapat dihilangkan dengan cara pola hidup sehat termasuk kebiasaan tidur. Sedangkan untuk insomnia kronik, penderita harus datang ke dokter untuk konseling kognitif-perilaku atau terapi obat-obatan.
Agar terhindar dari diabetes mellitus tipe 2, penderita insomnia perlu melakukan pencegahan primer. Pencegahan primer meliputi penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan rokok.

Penurunan berat badan adalah cara utama dalam mencegah diabetes mellitus tipe 2 atau intoleransi glukosa. Penelitian menunjukkan penurunan berat badan sebesar 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya diabetes mellitus tipe 2. Diet sehat dianjurkan kepada setiap orang yang memiliki resiko diabetes mellitus tipe 2. Asupan kalori harus ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Karbohidrat kompleks hendaknya dipilih untuk mencegah timbulnya puncak glukosa darah tinggi setelah makan di makanan yang mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut.

Latihan jasmani teratur berguna untuk memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan jasmani dianjurkan 150 menit perminggu untuk aerobic sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit perminggu dengan latihan jasmani berat (mencapai denyut jantung >70 % maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali dalam seminggu.

Merokok tidak mempunyai hubungan langsung dengan intoleransi glukosa. Tetapi dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan diabetes mellitus tipe 2 karena merokok adalah salah satu resiko timbulnya gangguan kardiovaskular (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006)


Daftar Pustaka

Arand. 2008. Kualitas tidur pengaruhi risiko diabetes. Diakses dari:
http://stikesayaniyk.ac.id/web/beritas/view/8
Diakses tanggal 14 Januari 2010

Buysse, D.J, C.F Reynold III, T.H Monk, S.R Berman, & D.J Kupfer.1998..Pittsburg Sleep Quality Indeks (PSQI). Diakses dari: http://findarticles.com/p/articles/mi_mOFSS/is_4_12/ai_n 18616017.
Diakses pada bulan November 2008

Carney, Colleen, Jack Endiger , Bjorn Meyer ,Linda Lindmna,Tai Ister, 2006.Research “Daily activies and Sleep Quality in college Student”. Amerika Serikat: Bradley University. Diakses dari: http://www.ncbi.njm.nih.gov/sites/entrez?cmd.link&db=Pubmed&From_uid=12937259.
Diakses pada bulan November 2008

Cauter, Eve Van.1997.Sleep Quality and Endocrine Markers of Sleep Quality. Diakses dari: http://www.macses.ucsf.edu/Research/Allostatic/notebook/sleep.htm.
Diakses pada bulan November 2008

Dorlan, W.A Newman.2006.Kamus Kedokteran.Editor Bahasa Indonesia: dr,Andy Setiawan,dkk.:EGC.

Guyton, Arthur C, John E Hall.2007. Aktivitas Otak-Tidur. Dalam Buku Ajar Fisiologi kedokteran-ed.9 . Editor alih Bahasa Indonesia: Dewi Asih Maharani.Jakarta:EGC. Hal 945-948.

Insomnia. Diakses dari : http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/inso/inso_whatis.html
Dakses pada : 26 Januari 2010

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006

Margareth.2009. Kurang Tidur Berisiko Diabetes.Diakses dari : www.i-comers.com
Diakses pada 26 Januari 2010

Murray, Robert K.,Daryl K. Granner,Peter A. Mayes,Victor W. Rodwell.2003.Biokimia Harper.Editor Bahasa Indonesia:dr.Anna P. Bani,dr. Tiara M.N. Sikumbang:EGC.

Naibili, Saimak T. 2008. Insomnia. Diakses dari : http://www.emedicinehealth.com/insomnia/article_em.htm
Diakses pada : 26 Januari 2010

Ott, Elizabeth, June J. Pilcher. 1998. Research: The Relationship between Sleep Measure of Health and Well-Being in College Student.1998. Diakses dari: http://www.ncbi.njm.nih.gov/sites/entrez?cmd.link&db=Pubmed&From_uid=167539468cmd=Retrieve&indexed=google.

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik. Dalam buku Patofisiologi Jilid 2-ed 6. Editor alih Bahasa Indonesia: dr. Huriawati Hartanto, dr. Natalia Susi, dr. Pita Wulansari, dr. Dewi Asih Mahanani.Jakarta: EGC. Hal 1260-1264

Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi Manusia.Editor Bahasa Indonesia: dr.Brahm U. Pendit,Sp.KK:EGC

Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.2007. Metabolik Endokrin. Dalam buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Jakarta: EGC. Hal 1852-1857

3 komentar:

  1. Artikel yang bagus !

    Barangkali informasi mengenai Insomnia berikut juga berguna bagi rekan rekan yang memerlukannya. Klik -> Insomnia ?

    BalasHapus
  2. terima kasih atas informasinya. semoga kita bisa berbagi ilmu

    BalasHapus
  3. assalamualaikum..mas.imran
    boleh minta judullengkapnya.da tahun berapa penelitian ini di buat..

    mau saya masukan ke referensi skripsi saya mas

    BalasHapus